oleh

Lika – Liku Perjalanan Karier Zulfia Susilawati di Dunia Pendidikan

KOTA BEKASI, Beritapublik.co.id – Memilih profesi sebagai guru, tentu sangat tidak mudah awalnya. Namun, berkat kegigihannya serta tekat yang kuat dan didasari oleh niat dan tanggungjawabnya juga mimpinya sejak kecil mampu dilakoni oleh Zulfia Susilawati yang kerap dikenal sebagai Susi ini.

Sebagai salah satu pendiri dari sebuah lembaga pendidikan di wilayah Bekasi. Susi mengakui membangun sebuah sekolah tidaklah mudah. Banyak kendala yang harus dihadapi, seperti perizinan sekolah. “Proses izin cukup panjang, karena kami dibatasi oleh etika keguruan, sistem kerja guru, serta aturan – aturan dasar pendidikan,” ungkap Susi saat ditemui di Gg. Rambutan No.8, RT003/RW007, Kelurahan Jatimurni, Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat, Jumat, (26/6).

Namun, didorong oleh keinginan yang kuat menjadi guru, beliau rela melepaskan kesempatan berkarir di dunia perbankan, dan lebih mengikuti keinginan hatinya. Sekolah yang diberi nama Nasional Satu atau disingkat Nassa, berdiri di atas fasilitas rumah beliau sendiri berukuran 70 meter di atas tanah 208 meter, dan beliau menjadi salah satu pengajarnya sekaligus menjadi Kepala Sekolah.

Kendati demikian, masih dengan segala keterbatasan, beliau meyakini bahwa, sekolah yang ia miliki suatu saat nanti bisa menjadi besar walaupun terkadang melawan segala bentuk kelaziman yang ada pada masyarakat.

Dijelaskan Susi sebagai seorang guru yang kontak langsung dengan didiknya ia harus dapat membuat mereka merasa aman, dan nyaman dengan segala tindakan yang akan dilakukan. Untuk itu, pihaknya berusaha memberikan informasi edukasi sejelas-jelasnya sebelum tindakan dilakukan. Apalagi sejak kecil, pihaknya bercita-cita untuk menjadi guru selama duduk dibangku kelas 5 SD, hal ini karena ibunda beliau sering mengajak putrinya menghadiri kegiatan-kegiatan di sebuah lembaga pendidikan berbasis Islam di Kota Medan.

Bahkan, menariknya wanita berparas cantik ini, memiliki tanggung jawab  mengasuh dan mengajar keponakan untuk membaca, mendongeng. Hal tersebut membuat pihaknya termotivasi untuk mendidik anak didiknya.

Wanita berhijab ini menjelaskan, setelah tamat SMP, ada satu kebimbangan beliau, apakah akan melanjutkan ke SMA, SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas) atau SPG (Sekolah Pendidikan Guru).

Apalagi, saat itu dari pihak keluarga yakni sang kakak tercinta beliau menyarankan masuk ke SMEA, pasalnya mereka bekerja di bank, sedangkan apabila mengikuti kata hati, akhirnya Susi ketika remaja memutuskan untuk masuk ke SPG. Pembelajaran yang beliau sukai yaitu, seni suara dan musik.

“Karena kesukaan terhadap pelajaran seni suara dan musik, jadi saat melanjutkan ke IKIP Jakarta, jurusan yang diambil pertama adalah seni musik, kemudian, pilihan kedua yakni, Bahasa Inggris. Berbagai pertimbangan dilakukan, pasalnya apabila mengambil jurusan seni musik harus memiliki alat musik, sehingga memerlukan biaya yang tidak sedikit, sehingga, wanita kelahiran 7 Agustus ini memutuskan pilihannya untuk mengambil jurusan Bahasa Inggris,” kata Susi.

BACA JUGA :  245 Peserta Ramaikan Perlombaan PENTAS PAI di Jatiasih

Anak kesepuluh dari sebelas bersaudara ini mengaku, sambil menjalani kuliah beliau mengajar di SMEA swasta di Tahun 1974, walaupun honor yang didapat tidak besar namun cukup membantu biaya transportasi kuliah. Pengaruh keluarga yang mayoritas bekerja di bank, sempat menarik hati dan kebetulan ada kesempatan bekerja di bank swasta Kota Bandung, namun hanya bertahan satu tahun, pasalnya suara hati dan passion di dunia pendidikan mampu memanggil dirinya kembali.

“Setelah kembali ke Jakarta dengan niat untuk mengajar, tetapi kakak yang lain meminta untuk mengikuti tes masuk ke salah satu bank pemerintah. Saat tes wawancara, dan pertanyaan yang ditanyakan tentang rencana 20 tahun ke depan, Ibu Susi menjawab akan kembali ke dunia pendidikan. Jawaban ini, menjadi pertimbangan untuk tidak diterima di bank tersebut,” terang Susi.

Tak hanya itu, kegalauan hati antara mengikuti saran kakak atau kata hati. Bahkan, pihaknya memutuskan untuk melamar wilayah di salah SMA negeri Jakarta Pusat yang cukup jauh dari rumah, tetapi tidak sampai satu tahun beliau memilih mengajar di SMA yang lebih dekat dan diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Selain mengajar di SMA negeri, pihaknya juga mengajar di salah satu sekolah swasta ternama di daerah di Cikini selama dua tahun dan sekolah berkilau banyak mendapat pengalaman mengajar.

Seiring berjalannya waktu, pada Tahun 1981 menikah dengan teman kuliah bernama Adriman, namun cukup lama beliau belum diberikan momongan sehingga, untuk mengusir kesepian dan mengikuti keinginan hati  beliau  membuat Taman Kanak Kanak (TK) di tempat tinggal beliau. Adriman menguji istrinya, dengan mempertanyakan kemungkinan buruk yang akan terjadi.

Selain itu, Adriman mengajak Ibu untuk melihat sekolah-sekolah dari yang sangat lengkap fasilitasnya sampai sekolah yang kurang. Mendapat tantangan tersebut, semangat membangun sekolah yang lebih baik semakin bergelora. Bermodalkan nekat, niat dan tanggungjawabnya serta modal yang cukup terbatas pihaknya rela menjual sepasang cincin nikahnya hanya untuk membeli fasilitas kebutuhan TK. Melihat semangat istrinya, Adriman membantu dengan mempersiapkan brosur yang menarik. Program unggulan TK saat itu adalah Bahasa Inggris, dan sempat menjadi pertanyaan, pasalnya TK yang lain tidak ada pelajaran Bahasa Inggris.

Di tengah-tengah mempersiapkan TK, Allah memberikan amanah serta kepercayaan, untuk mengandung anak pertama.

BACA JUGA :  Polres Metro Bekasi Kota Adakan Patroli KRYD

Kecintaan kepada istri menyebabkan Adriman membujuk agar ibu mengurungkan pembukaan TK. Namun, dibantu dengan kerabat beliau yang pernah menjadi Kepala Sekolah di Medan, akhirnya TK Nasional I berdiri. Awal tahun ajaran sekolah ini memiliki 70 siswa. Ketika lulusan pertama, orang tua menginginkan dibukanya sekolah dasar, akan tetapi karena kondisi belum memungkinkan. Kemudian, pada tahun kedua kelulusan TK, orang tua mengusulkan kembali pembukaan SD dan kali ini, pihaknya menerima usulan orang tua. Dengan jumlah angkatan pertama SD sebanyak 13 orang.

Pada saat yang bersamaan Adriman mendapatkan tugas belajar ke Amerika Serikat. Kekhawatiran dan keraguan muncul di hati ibu, ditambah masih harus menjalankan tugas sebagai guru PNS di SMA. Namun, pihak bapak meyakinkan ibu mampu untuk melanjutkan SD. Dibantu dengan seorang teman, bernama Azizah, mereka berbagi tugas untuk mengajar. “Saya mengajar Matematika, Sain dan Bahasa Inggris sedangkan Azizah mengajar bidang agama dan sosial. Kegiatan tersebut berjalan selama beberapa bulan tanpa menyerah dan merasa lelah,” keluhnya.

Setelah menyelesaikan belajarnya di Amerika Serikat, Adriman kembali ke tanah air. Pasalnya, sang suami mengajar di sekolah keguruan, sehingga mempermudah datangnya guru-guru baru. Kelulusan pertama SD merupakan hadiah yang terbaik karena nilai siswa-siswi sangat tinggi dan dapat masuk ke SMP di Jakarta.

Di tahun kedua kelulusan timbul masalah baru, Pemda DKI Jakarta mulai memperketat penerimaan murid dari wilayah di luar Jakarta. Akibat kebijakan tersebut, banyak siswa kelas 5 SD Nasional I mengajukan pindah ke sekolah-sekolah dasar di Jakarta. Akhirnya tanpa banyak pertimbangan didirikanlah SMP. Dengan menjalankan SMP yang berbeda dan SD khususnya terkait kebutuhan guru bidang studi.

Ironisnya, 1994, Nassa mengalami musibah kebakaran. Dari 25 siswa yang mendaftar, hanya 12 siswa yang melanjutkan, selebihnya mengundurkan diri karena melihat kondisi sekolah yang berantakan. Peristiwa ini membuat pihaknya galau dan khawatir melanjutkan SMP. Sampai suatu ketika seorang anak bernama Indah Fadlika, datang bersama orang tuanya dan berkeinginan kuat untuk bersekolah di SMP Nassa. Indah Fadlika adalah anak yang cerdas dan mampu mempengaruhi teman-teman di sekitar tempat tinggalnya serta siswa-siswi kelas 6 hanya untuk masuk ke SMP Nassa. Berkat anak tersebut pihaknya kembali bersemangat dan angkatan Indah sebagai angkatan pertama, mayoritas diterima di SMA negeri Jakarta.

Sikap profesional yang ia tanamkan dalam dirinya membawa pihaknya menuju kesuksesan.

Keadaan kembali berulang saat seleksi pendaftaran SMP angkatan kedua. Pemerintah DKI Jakarta, hanya membuka sedikit kuota untuk siswa luar Jakarta. Kendati demikian, ada beberapa siswa SMP yang diterima di  SMA Negeri Jakarta. Siswa yang tidak diterima berusaha mencari sekolah-sekolah swasta di Jakarta dengan diantar oleh teman-teman yang sudah diterima. Sepulangnya, para siswa meminta beliau agar membuka SMA, saat itu mereka ditemani Kak Charles, dan akhirnya SMA berdiri pada tahun 1998 dengan jumlah siswa 16 orang.

BACA JUGA :  Meskit di Tengah Pandemi, UPTD Jatiasih Optimis Capai Target PAD

“Usaha memang tidak pernah mengkhianati hasil, lulusan pertama SMA Nassa mendapatkan hasil terbaik dalam Ujian Nasional meskipun belum akreditasi dan masih bergabung dengan salah satu SMA negeri di Bekasi,” paparnya.

Seiring berjalannya tahun, Lembaga Pendidikan Nasional I semakin meningkat, tidak hanya kuantitas siswa tetapi juga kualitas kurikulum dalam pembelajaran. Pendiri sekolah ini memiliki mimpi tentang sekolah yang indah, halaman yang luas dan metode pendidikan berdasarkan keterampilan hidup. Melihat keterbatasan fasilitas ruangan, tempat bermain dan lapangan, menjadi pemikiran dan harapan yang selalu beliau panjatkan. Akhirnya, tanpa disangka pada 2001 Nassa mendapatkan dua lahan sekaligus, yaitu, di wilayah Bojong Nangka yang berdekatan dengan gedung sekolah dan di wilayah Jati Murni, dan salah satu tempat yang menjadi pusat pembelajaran outdoor yang dikenal dengan sebutan Nassa Valley.

Kini, sekolah impian sudah terwujud dan disempurnakan dengan adanya Kelompok Bermain (KB), sebagai jenjang terkecil, sehingga proses pendidikan dari usia yang paling dini sampai menengah sudah terlaksana.

Selain itu, sebagai sekolah impian, Nassa sudah memadukan dua pengalaman belajar untuk para siswa yaitu indoor dan outdoor.

Keberadaan fasilitas outdoor juga membawa SMA Nasional Satu meraih beberapa prestasi seperti Sekolah Bebas Rokok tahun 2004 oleh Yayasan AIDS Indonesia, Sekolah Berbudaya Lingkungan dan Sekolah Peraih Adhiwiyata tingkat Nasional.

“Masih banyak yang harus diperhatikan dalam perjalanan sekolah selanjutnya, sampai dapat melahirkan manusia yang takwa, tanggap dan terampil sesuai dengan zamannya guna membentuk karakter anak didiknya,” tuturnya.

Sekolah Nassa dikenal dengan sebutan Nassa School, yang harus terus bereksplorasi dan berinovasi seperti motto yang selalu disampaikan oleh suami yang merupakan founder sekolah yakni, Bapak Adriman bahwa, pentingnya memiliki “Exploring Better off”.

Motivasi sukses, tidak ada akhir, masih terus pencarian. Jika dilihat dari segi pendidikan pihaknya ingin setiap anak bisa bermasyarakat, menerima perbedaan, tidak hanya dirinya. Namun, bisa melihat kehadiran orang lain.

“Saya berharap, kedepannya dukungan pemerintah untuk testing seharusnya lebih simpel,” pintanya. (Nia/Len)

Komentar

Tinggalkan Balasan

News Feed