JAKARTA, Beritapublik.co.id – Awal tahun menjadi peristiwa menyeramkan bagi sejumlah wilayah di Indonesia. Penyebabnya, tidak lain bencana banjir.
Salah satu provinsi langganan banjir di Indonesia adalah Jakarta. Tercatat pada awal tahun 2020 merupakan banjir dengan dampak cukup besar dibandingkan banjir pada tahun 2013 dan 2015.
Berdasarkan data gabungan antara Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta, Bappenas, BMKG, dan Open Data Jakarta banjir di awal tahun 2020 memiliki curah hujan 377 mm per hari. Curah hujan itu tertinggi jika dibandingkan tahun 2013 sebesar 100 mm, dan 2015 sebesar 277 mm. Dan luas area yang terdampak banjir di Jakarta saat itu seluas 156 km.
Bahkan, Menteri Pekerjaan Umum Basuki Hadi Muljono dengan Gubernur Jakarta Anies Baswedan saling silang pendapat mengenai penyebab banjir. Keduanya memantau langsung banjir di Jakarta (1/1) menggunakan helikopter.
Basuki mengatakan, banjir Jakarta bisa diatasi apabila Kali Ciliwung dinormalisasi. Basuki mengajak Anies duduk bersama untuk melakukan normalisasi Kali Ciliwung.
Sementara itu, Anies menegaskan, penyebab banjir Jakarta karena tidak adanya pengendalian air yang masuk dari selatan ke Jakarta. Pihaknya menyoal, penyebab banjir tak selalu terkait normalisasi sungai. Anies mengatakan, jika faktanya seperti terjadi di wilayah Kampung Pulo yang masih terdampak banjir hebat kemarin.
“Di sini (wilayah Kampung Pulo) memang sudah dilakukan normalisasi dan faktanya masih tetap terjadi banjir, pasalnya memang dalam jangka panjang kita harus melihat penyelesaiannya secara lebih komprehensif,” ujar Anies,” Rabu, (20/1).
Merujuk data dari Kementerian Sosial, akibat banjir hebat tersebut, 21 orang meninggal. Banjir hebat dan juga menjadi sorotan di awal tahun adalah Kalimantan Selatan. Tepatnya awal tahun 2021, Kalimantan Selatan terendam banjir hebat.
Banjir Kalsel
Sama seperti Jakarta, dalih pihak terkait mengatakan banjir yang merendam tanah Borneo itu disebabkan curah hujan dengan intensitas tinggi. Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Karliansyah menerangkan sebanyak 10 kabupaten terendam banjir.
Dia menjelaskan, hal tersebut terjadi di alur DAS Barito. Khususnya Kalimantan Selatan akibat cuaca ekstrem. Pada 2020, Januari curah hujan normal yaitu 394 mm. Sedangkan pada 9-13 Januari 2021, 461 mm atau 8-9 kali lipat.
“Artinya ada 2,08 miliar meter kubik, dibandingkan kapasitas sungai normal hanya 238 juta meter kubik,” terangnya.
Kemudian, Kementeri LHK juga mendapatkan hasil evaluasi sistem drainase tidak mampu mengalirkan air dengan kapasitas tersebut. Karliansyah menjelaskan, titik banjir merupakan daerah yang datar, elevasi rendah dan bermuara di laut.
“Sehingga merupakan daerah akumulasi air dengan tingkat drainase yang rendah. Ada perbedaan sangat besar antara tinggi hulu dengan hilir, sehingga pasokan air di hulu,” tutupnya.
Penjelasan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ditentang oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) yang menyatakan banjir di Kalimantan Selatan disebabkan alih fungsi lahan. Koordinator Jatam, Merah Johansyah mengatakan 50 persen lahan di Kalimantan Selatan sudah dikuasai pertambangan dan kelapa sawit.
Banjir merendam Kalimantan Selatan pada 12 Januari 2021. Banjir ini menyebabkan 15 warga meninggal dunia, 39.549 jiwa mengungsi, 24.379 rumah terendam dan 10 kabupaten dan kota terdampak. Pemerintah Kalimantan Selatan telah menetapkan status tanggap darurat bencana banjir sejak 14 Januari 2021.
“Jadi dari banyak data-data menyebutkan 1,2 juta hektare dari luas Kalsel sudah konsesi pertambangan, sudah berubah alih fungsi lahan, hutannya sudah gundul mengalami deforestasi,” paparnya.
“Jadi tidak usah pura-pura (tidak tahu). Pemerintah mengatakan (penyebab banjir) karena curah hujan itu mengejek akal sehat,” tandasnya. (Nia/Len)
Komentar