KOTA BEKASI, Beritapublik.co.id – Ketua Bidang Hukum dan HAM Jatim Institute merupakan
suatu produk yang selalu menyandang status cacat sejak lahir terkait produk hukum.
Willy Innocenti selaku Ketua Bidang Hukum dan HAM Jatim Institute mengatakan, produk ini diciptakan oleh badan yang berwewenang menciptakannya sebagai bentuk pembagian kekuasaan negara seperti apa yang diwariskan oleh montesquieu, juga tak luput sebagai bentuk aplikasi legal positivism yang sejatinya bahwa, hukum merupakan perintah dari manusia yang dibuat sebagai sarana dalam menjawab kebutuhan zaman yang semakin berkembang.
“Perkembangan tersebut dirasakan dalam manifestasi RKUHP yang akhir-akhir ini menyerap perhatian semua kalangan,” ungkap pria yang akrab disapa Willy.
Bahkan, melihat dinamika pendapat yang terdapat di era terbitnya RKUHP ini merupakan hal yang wajar, dan patut dijunjung tinggi dalam atmosfer demokrasi bangsa ini.
Namun, ada beberapa hal yang perlu diketahui terkait semua pasal yang dinilai oleh kalangan sebagai pasal yang kontroversial dan berpotensi mengkriminalisasi rakyat tidaklah semua benar-benar begitu adanya.
Tercatat ada 10 pasal yang diberitakan oleh media sebagai pasal yang “lucu” atau “aneh”, sekaligus mengundang pro dan kontra di masyarakat.
Rumusan berbagai pasal RKUHP sedikit banyak mengandung kegagalan suatu produk hukum guna menciptakan rekayasa sosial sebagaimana yang diharapkan.
“Kita melihat belum disahkannya saja RKUHP sudah mengundang demonstrasi dimana-mana, lalu bagaimana jika hal tersebut, disahkan? Artinya disini bahwa rakyat memerlukan suatu produk yang benar-benar jelas dan tidak membatasi hak-hak konstitusional yang terlalu dalam, melibatkan mereka dalam suatu rumusan pemebaharuan, serta mengkalkulasi baik buruknya apabila ketentuan baru diterapkan,” tegasnya.
Berbagai pasal yang menjadi sorotan public antara lain delik penghinaan presiden (Pasal 218-220 RKUHP), delik aborsi (470-471 Aborsi), delik gelandangan (431 RKUHP), pengakuan hukum adat (Pasal 2 RKUHP) dan perluasan makna zina (Pasal 417-419 RKUHP). Namun, yang paling menjadi sorotan yaitu pasal tentang penyerangan harkat dan martabat presiden (Pasal 218-220 RKUHP).
Ketentuan tersebut sejatinya memiliki semangat moral yang begitu dalam guna mewujudkan masyarakat yang beradab dalam berdialektika di dunia maya dan realita.
Namun, jika dibreakdown lebih dalam lagi, ketentuan ini tidak memuat unsur yang tegas dan jelas antara konsep “penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden” dan “demi pembelaan diri dan kepentingan umum.”
Bahkan, biasanya penjelasan umum menimbulkan implikasi yuridis yang terkandung penerapannya. Sehingga, ketentuan tersebut telah ada dalam KUHP yang lama sebagai delik penghinaan presiden dan sudah dicabut oleh putusan MK pada tahun 2006.
Terlebih, ratio decidendi yang dibawa hakim hingga pada putusan menyuratkan agar tidak kemudian mengatur pasal yang serupa bahkan mirip sekalipun dalam RKUHP yang baru dimasa yang akan datang.
Berbagai kekacauan hukum yang timbul dalam rumusan hukum pidana materil secara idealnya perlu memperhatikan semua asas-asas hukum umum yang berlaku sebagai sebuah landasan filosofis, singkronisasi peraturan sebagai bentuk dasar yuridis, dan pemenuhan kebutuhan masyarakat sebagai dasar sosiologis dalam melahirkan suatu produk hukum yang dicita-citakan.
Dalam poin ini, kerja keras pemerintah dan legislative telah diuji sebagai representasi penuh atas kehendak rakyat.
“Para pemangku kebijakan sejatinya perlu suatu daya kepekaan yang tinggi dalam melihat secara jeli pemenuhan kebutuhan rakyat sebagai bentuk kedaulatan yang benar-benar berada pada tangan rakyat,” paparnya.
Melihat pandangan Jeschek dan Weigend, mengemukakan empat pilar tegaknya hukum pidana yang kemudian dirusmuskan sebagai asas legalitas, bahwa hukum pidana harus mengandung unsur; lex scripta (hukum pidana harus tertulis dan tidak boleh dari hukum kebiasaan); lex stricta (hukum pidana harus ditafsirkan secara ketat dan larangan analogi); lex certa (hukum pidana harus jelas) dan; lex praevia (hukum pidana tidak boleh berlaku surut).
Keempat pilar tersebut, harus menjadi pedoman dalam perumusan hukum pidana. Dalam hal tersebut, apabila ada pembaharuan hukum pidana mengakui hukum pidana adat sebagaimana tercantum pasal 2 RKUHP, maka perlu dipastikan adanya kodifikasi hukum adat secara sitematis dan tertulis demi mewujudkan kepastian hukum.
Pada dasarnya status RKUHP sebagai lex generalis. Kendati demikian, perlu ada penjelasan umum yang rigid dan spesifik sebagai bagian yang inherent dalam memaknai pasal demi pasal.
Penjelasan umum tersebut harus menjadi tafsir yang resmi sebagai acuan bagi rakyat dan penegak hukum agar mampu menimbang suatu perbuatan memenuhi unsur-unsur delik yang dimaksud.
Jika tafsir tidaklah mampu membatasi secara tegas, para hakim atau yurislah yang mempunyai kecakapan dalam menginterpretasikan suatu pasal dalam suatu kasus tertentu dikemudian hari.
Sehingga, hal ini merupakan tugas daripada para anggota dewan untuk merumuskan tafsir yang benar-benar jelas agar para penegak hukum mampu merespon dengan cepat permasalahan yang ada, dan yang terpenting tidak menimbulkan pemidanaan dimana-mana.
“Melalui semangat dekolonialisme produk hukum, mari kita ciptakan hukum yang berkeadilan dalam bingkai reformasi yang dicita-citakan,” pungkasnya. (Nia/Len)